Meugang, Tradisi yang Masih Lestari
Uroe meugang uroe pajoh sie
Leumo ngoen keubeu geu mita sigra
Dilee meutuleh lam qanun al Asyi
Sampoe oh jinoe mantong teujaga
Sultan Iskandar Muda nyang peu phon meugang
Rakyat pih seunang na soe peuduli
Sie ka geu tumpok oh leuh geu cang – cang
Mandum nyang na hak laju geu bagi
Artinya :
Hari meugang hari memakan daging
Lembu dan kerbau dicari segera
Dulu tertulis dalam qanun al Asyi (UU Kesultanan Aceh dimasa lalu)
Hingga sekarang masih terjaga
Sultan Iskandar muda pemula meugang
Rakyat pun senang ada yang peduli
Daging ditumpuk setelah di cincang
Semua yang berhak langsung dibagi
Makmeugang atau meugang adalah salah satu dari beberapa tradisi khas Aceh yang masih bertahan hingga kini. Tradisi meugang
memang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Aceh saat
menyambut bulan Ramadhan maupun menjelang hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha. Seakan telah menjadi sebuah kewajiban, dimana tradisi makan daging
ini tak pernah dilewati setiap tahunnya. Asal – usul meugang mulanya digelar pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya saat Sultan Iskandar Muda bertahta (1607 – 1636). Pelaksanaan meugang diatur dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi (Undang – Undang Kesultanan Aceh). Salah satu tata cara pelaksanaan meugang dimasa
Kesultanan adalah dengan mendata jumlah warga miskin dan anak yatim
sebulan menjelang masuknya bulan Ramadhan. Data itu kemudian
diverivikasi oleh lembaga resmi Kesultanan atau Qadhi, yang selanjutnya memilih penerima daging meugang yang layak.
Seiring perjalanan waktu, tata cara pelaksanaan meugang mengalami
pergeseran. Karena pelaksanaanya tidak lagi terikat dengan apa yang
termaktub dalam Qanun Al Asyi. Walau demikian, tujuannya masih tetap
sama, yaitu mempererat ikatan persaudaraan serta membantu mereka yang
membutuhkan. Perayaan meugang, memang
menghadirkan suasana kebersamaan. Karena, pada saat itu seluruh anggota
keluarga berkumpul di dalam rumah untuk menikmati daging meugang. Selain itu, warga yang berkecukupan untuk membeli daging meugang, akan membagikannya kepada tetangga yang kurang mampu maupun anak yatim, agar mereka juga tak melewatkan momen yang penting ini.
Ketika hari meugang tiba,
aktivitas masyarakat memang telah sibuk sedari pagi. Pedagang sibuk
membawa daging yang akan dijual sekaligus menjejerkan dan menggantung sie meugang yang ditempatkan dilapak yang tersedia. Para pembeli berduyun – duyun datang ke pasar untuk mendapatkan sie meugang yang masih segar. Harga yang terkadang ‘gila – gilaan’, tak menyurutkan keinginan masyarakat Aceh untuk membeli daging meugang. Biasanya
kondisi cuaca seperti hujanlah yang menyebabkan keberuntungan berpihak
pada para pembeli. Karena pada saat hujan sedang mengguyur, pembeli
cenderung sedikit dan akhirnya para pedagang daging meugang menurunkan harga agar menarik pembeli untuk datang.
Tata cara menikmati daging meugang pun
tergolong unik. Karena tak semua daerah di Aceh menikmatinya dengan
cara yang sama. Ada yang makan bersama keluarga di rumah dan ada pula
yang menikmatinya dengan cara makan daging meugang beramai – ramai seperti di pinggiran sungai maupun tempat terbuka lainnya.
Sejarah meugang
Meugang merupakan singkatan dari sebutan makmeugang. Walau sumber ilmiah yang meneliti tentang meugang secara
mendalam masih sulit ditemukan, tapi seperti yang dikisahkan oleh Amir
Hamzah (2009), bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda ada gang – gang atau
lorong pasar yang dipenuhi oleh daging – daging berjejeran yang
didatangi oleh banyak orang. Sebab itulah muncul sebutan makmu that gang nyan (makmur sekali gang itu), yang kemudian menjadi istilah makmeugang. Seiring perjalanan waktu, istilah makmeugang disingkat menjadi meugang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Perayaan meugang itu
sendiri merupakan wujud rasa syukur Sultan dan juga untuk menyambut
datangnya bulan suci Ramadhan dengan melakukan pemotongan lembu atau
kerbau secara besar – besaran untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat.
Namun, setelah takluknya kesultanan Aceh oleh invasi Belanda,
pelaksanaan meugang tidak lagi terikat dengan aturan kesultanan Aceh melainkan rakyat Aceh langsung yang melaksanakannya secara suka rela.
Untuk saat ini secara umum meugang dilakukan
untuk menyambut bulan Ramadhan dan hari raya, tepatnya dilakukan dua
hari sebelum awal puasa, dua hari menjelang Idul Fitri dan Idul Adha.
Tradisi meugang seakan tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hingga kini pun tradisi meugang masih tetap lestari. Semoga tetap terus terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar